WAS KUMMAT
(Kamu Suka Matematika)
Diajukan
untuk Memenuhi Salahsatu Tugas
Matakuliah
Model Pembelajaran Matematika.
Disusun oleh :
Kelompok 10
Dede Ahmad Sobandi (1105194/07)
Egi Agustian (1105661/15)
M. Junaedi (1101465/23)
Topik Rusmana (1105142/34)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
KAMPUS SUMEDANG
UNIVERSITAS PENDIDIKAN
INDONESIA
2014
PENDEKATAN REALISTIK
A. Sejarah Pendekatan Realistik
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen
(Suryadi, dkk., 2007, hlm. 731), berdasarkan sejarahnya Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali berkembang di
Belanda sejak awal tahun 1970-an. Orang yang pertama mengembangkannya adalah
Freudenthal dan kawan-kawan dari Freudenthal Institute di Belanda. Dalam
pandangan Freudenthal, agar matematika memiliki nilai kemanusiaan (human value) maka pembelajarannya
haruslah dikaitkan dengan realita, dekat dengan pengalaman anak serta relevan
untuk kehidupan masyarakat. Selain itu Freudenthal juga berpandangan bahwa
matematika sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu bahan ajar yang harus
ditransfer secara langsung sebagai matematika siap pakai, melainkan harus
dipandang sebagai suatu aktivitas manusia. Pembelajaran matematika sebaiknya
dilakukan dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk mencoba
menemukan sendiri melalui bantuan tertentu dari guru. Dalam istilah Freudenthal
kegiatan seperti ini disebut guided
reinvention, yakni suatu kegiatan yang mendorong anak untuk menemukan
prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui kegiatan pembelajaran yang
secara spesifik dirancang oleh guru. Dengan demikian, prinsip utama
pembelajaran matematika tidaklah terletak pada matematika sebagai suatu sistem
tertutup yang kaku, melainkan pada aktivitasnya yang lebih dikenal sebagai
suatu proses matematisasi (process of
mathematization)
Dalam hal ini, Freudenthal mengutamakan
suatu proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa atau terkenal dengan
istilah “student centered”. Mengajak
siswa terlibat aktif dalam pembelajaran merupakan langkah yang diambil agar
pembelajaran tersebut lebih bermakna dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Pada perkembangan selanjutnya, Treffers
(Suryadi, dkk., 2007, hlm. 731) mencoba memformulasikan proses matematisasi,
dalam konteks pendidikan matematika, menjadi dua tipe yakni matematisasi
horizontal dan vertikal. Dalam tahap horizontal, pada akhirnya anak akan sampai
pada mathematical tools seperti konsep,
prinsip, algoritma, atau rumus yang dapat digunakan untuk membantu
mengorganisasi serta memecahkan permasalahan yang didesain terkait dengan
konteks kehidupan sehari-hari. Matematisasi vertikal adalah suatu proses
reorganisasi yang terjadi dalam sistem matematika sendiri, misalnya, menemukan
suatu keterkaitan antara beberapa konsep dan strategi serta mencoba
menerapkannya dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Dengan demikian,
matematisasi horizontal memuat suatu proses yang diawali dari dunia nyata
menuju dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung makna suatu
proses perpindahan dalam dunia simbol itu sendiri. Menurut Freudenthal, kedua
proses matematisasi ini tidak bisa dipandang secara sendiri-sendiri, melainkan
merupakan suatu kesastuan yang memiliki nilai sama pentingnya dalam proses pembelajaran matematika.
Pada
tahun 1998, Indonesia mulai melirik pendekatan RME ini yang antara lain
ditandai dengan pengiriman sejumlah dosen untuk mengambil program S3 di
Belanda. Di antara mereka yang mengambil S3 dalam bidang pendidikan matematika
diharuskan berkonsentrasi pada pembelajaran matematika dengan pendekatan
realistik. Awal tahun 2001, DIKTI
melalui proyek PGSM mencoba menginisiasi ujicoba pembelajaran dengan
pendekatan realistik ini di kelas-kelas awal sekolah dasar. Perguruan Tinggi
yang terlibat dalam ujicoba ini adalah Universitas Pendidikan Indonesia,
Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas
Negeri Surabaya. Adapun beberapa sekolah yang terlibat untuk kawasan Bandung
adalah SDPN yang ada di lingkungan UPI, SDN Sabang, dan MIN Cicendo (Suryadi,
dkk., 2007, hlm. 731).
B. Konsep Pendekatan Pembelajaran Realistik
Pendekatan pembelajaran realistik sejalan dengan teori belajar yang
berkembang saat ini, seperti teori konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual
(contextual teaching and learning). Namun, baik konstruktivisme maupun
CTL mewakili teori belajar secara umum, sedangkan pendekatan realistik adalah
suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya
juga diakui bahwa konsep pendekatan realistik sejalan dengan kebutuhan untuk
memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang dibebani oleh persoalan
bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya
nalar.
Pengertian pendekatan realistik menurut Sudarman (Zahra, 2010),
“Pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia
nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”. Menurut
Tarigan (2006, hlm. 4), “Pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan
yang ditujukan untuk pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur
dengan berorientasi pada penalaran matematika dalam menyelesaikan masalah”.
Matematika Realistik yang telah diterapkan dan dikembangkan di Belanda
teorinya mengacu pada matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika
merupakan aktifitas manusia. Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik,
strategi- strategi informasi siswa berkembang ketika mereka menyeleseikan
masalah pada situasi- situsi biasa yang telah diakrapiniya, dan keadaan itu
yang dijadikannya titik awal. Megawati (Zahra, 2010) mengemukakan bahwa,
“Pendekatan realistik merupakan cara mengajar dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menyelediki dan memahami konsep matematika melalui suatu
masalah dalam situasi yang nyata”. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran
bermakna bagi siswa.
Realistic Mathematic Education
(RME) menurut Zulkardi (Ali, dkk, 2007, hlm 732) adalah, “Pendekatan pengajaran
yang bertitik tolak pada hal-hal yang nyata bagi siswa”. Teori ini menekankan
keterampilan proses, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman
sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri, sebagai kebalikan dari guru
memberi dan pada akhirnya murid menggunakan matematika itu untuk menyeleseikan
masalah baik secara individual ataupun kelompok. Pada pendekatan Realistik
peran guru tidak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator.
Sementara murid berpikir, mengkomunikasikan argumennya, mengklasifikasikan
jawaban mereka, serta melatih saling menghargai strategi atau pendapat orang
lain.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa RME atau pendekatan
realistik adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sehari-hari
sebagai sumber inspirasi dalam pembentukan konsep dan mengaplikasikan
konsep-konsep tersebut pada hal-hal nyata atau real bagi siswa dan mengacu pada
konstruktivis sosial.
C. Karakteristik Pendekatan Pembelajaran Realistik
Pendekatan
pembelajaran realistik memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendekatan
pembelajaran lainnya. Karakteristik inilah yang membuat pembelajaran realistik
memiliki kekhasan dalam proses pembelajarannya. Terdapat lima karakteristik pendekatan pembelajaran realistik yang dikemukakan oleh Gravemejer (Maulana, dkk., 2009) antara lain:
1.
Phenomenological exploration or use contex.
Pendekatan
realistik memiliki ciri dalam pembelajarannya menggunakan konteks. Konteks adalah lingkungan keseharian siswa yang nyata. Dalam matematika konteks tidak selalu diartikan konkret, dapat juga
sesuatu yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan siswa. Konteks tidak selalu dikaitkan dengan kehidupan siswa atau
dengan pengalaman.
Dalam proses pembelajaran dengan
pendekatan matematika realistik, guru harus memanfaatkan pengetahuan awal siswa
untuk memahami konsep-konsep matematika melalui pemberian suatu masalah
kontekstual. Siswa tidak belajar konsep baru matematika dengan cara langsung
menerima jadi dari guru atau orang lain melalui penjelasan, tetapi membangun
sendiri pemahaman konsep dengan memanfaatkan sesuatu yang telah diketahui oleh
siswa itu sendiri. Dengan kata lain, masalah kontekstual diharapkan dapat
memicu dan menopang terlaksananya suatu proses penemuan, sehingga siswa
nantinya secara formal dapat memahami konsep matematika.
2.
The use models or bridging by vertical instrument.
Model diarahkan pada model konkret meningkat ke abstrak.Dalam proses
pemodelan, siswa diharapkan dapat menemukan hubungan antara bagian-bagian
masalah kontekstual dan mentransfernya ke dalam model matematika melalui
penskemaan, perumusan, serta pemvisualan. Pemodelan bisa dengan penggunaan
media berupa gambar, grafik, atau simbol. Pemodelan bertujuan untuk
menjembatani antara masalah kontekstual dengan matematika formal yang bersifat
vertikal. Dari karakteristik ini diharapkan
siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, representasi
dan komunikasi matematika.
Pada model konkret, model dibuat menyerupai keadaan sebenarnya, dan
semua komponen yang terkait dalam soal kontekstual digambarkan, misalnya gambar
buku, siswa, dan uang. Dengan kata lain gambar tersebut dapat memberikan kesan
visual bahwa banyaknya buku akan dibagi kepada ketiga siswa, demikian juga
dengan banyak uang. Sedangkan pada model diagram, model dibuat tidak persis
dengan keadaan sebenarnya, misalnya buku digambarkan sebagai bulatan, segiempat
atau bentuk lainnya.
3.
The use of students own production and constructions of
students contribution.
Konstribusi yang besar pada proses belajar mengajar
diharapkan dari konstruksi siswa itu sendiri yang
mengarahkan mereka dari metode informal mereka kearah yang lebih formal atau
baku melalui bimbingan guru.Strategi-strategi
informal siswa berupa skema, grafik, diagram, atau pensimbolan matematika serta
prosedur pemecahan masalah kontekstual sebagai sumber inspirasi dalam
mengkonstruk pengetahuan matematika formal diharapkan dapat berkembang ke arah
yang positif. Tanpa sikap yang positif terhadap matematika maka karakterisitk
kontribusi dan produksi siswa sangat sulit untuk dapat dikembangkan, sebaliknya
dengan siswa memiliki kontribusi dan produksi yang baik dalam proses
pembelajaran sangat dimungkinkan akan menumbuhkan sikap yang lebih positif
terhadap matematika.
4.
The interactive character or teaching process or
interactivity.
Interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru maupun
sebaliknya merupakan bagian penting dalam pendekatan matematika realistik.
Bentuk interaksi yang terjadi dalam pembelajaran diantaranya dapat berupa
negosiasi secara eksplisit, intervensi kooperatif, penjelasan, pembenaran,
setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi dan evaluasi sesama siswa dan
guru.
Bentuk interaksi ini digunakan siswa untuk memperbaiki atau
memperbaharui model-model yang dikonstruksi sehingga diperoleh model yang
tepat. Sedangkan guru menggunakannya untuk menuntun dan membimbing siswa
sehingga sampai memahami konsep matematika formal. Interaksi sebagai salah satu
karakteristik pendekatan matematika realistik sangat memungkinkan siswa untuk dapat
mengembangkan kemampuan komunikasi matematik. Sejauh mana interaksi ini terjadi
akan tergambar melalui observasi pembelajaran, yang dipandang sebagai alat
untuk memotret kejadian pembelajaran di kelas.
5.
Intertwining or various learning strand.
Konsep yang dipelajari siswa dengan prinsip-prinsip belajar-mengajar
matematika realistik harus merupakan jalinan dengan konsep atau materi lain
baik dalam matematika itu sendiri maupun dengan yang lain, sehingga matematika
bukanlah suatu pengetahuan yang bercerai berai melainkan merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang utuh dan terpadu. Hal ini dimaksudkan agar proses pemahaman
siswa terhadap konsep dapat dilakukan secara bermakna dan holistik.
D. Prinsip Pendekatan Pembelajaran Realistik
Prinsip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
(2010) diartikan sebagai kebenaran
yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Dari paparan
tersebut maka prinsip pembelajaran realistik merupakan dasar berpikir dan
bertindak yang benar dalam pembelajaran realistik. Pemahaman akan
prinsip-prinsip pembelajaran realistik mutlak harus dikuasai oleh seorang guru
yang hendak menggunakan pendekatan pembelajaran ini. Pemahaman terhadap prinsip
juga tentunya agar guru ketika mengimplementasikan pada proses pembelajaran
tidak terjadi kekeliruan atau kesalahan. Jika pembelajaran realistik berpijak
pada prinsip yang melandasinya maka tentunya pembelajaran akan lebih bermakna,
sesuai dengan sifat pembelajaran realistik. Menurut Suwangsih& Tiurlina
(2006, hlm. 136) terdapat lima prinsip pembelajaran realistik yang menjiwai
setiap aktivitas pembelajaran matematika.
1.
Didominasi
oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan
sebagai terapan konsep matematika.
2.
Perhatian
diberikan pada pengembangan model-model, situasi, skema, dan symbolsimbol.
3.
Sumbangan
dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi onstruktif dan produktif, artinya siswa
memproduksi sendiri dan mengkonstruksi sendiri
yang mungkin berupa algoritma, rule, atau aturan), sehingga dapat
membimbing para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal.
4.
Interaktif
sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika.
5.
Intertwinning (membuat
jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.
Dari
kelima prinsip pembelajaran realistik tersebut dapat dijadikan rambu-rambu bagi
guru dalam merancang suatu skenario pembelajaran yang menggunakan pendekan
realistik. Suwangsih & Tiurlina (2006, hlm. 136) mengemukakan tiga
rambu-rambu desain pembelajaran realistik.
1.
Bagaimana
guru menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting pada
pembelajaran.
2.
Bagaimana
guru menstimulasi, membimbing, dan memfasilitasi agar proses algoritma, simbol,
skema dan model, yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada
matematika formal.
3.
Bagaimana
guru memberi atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk
menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam
menyelesaikan soal.
Dari
rambu-rambu tersebut sekiranya jelaslah untuk menerapkan desain pembelajaran
yang menggunakan pendekata realistik tentunya guru tahu apa saja yang harus
dipersiapkan, sehingga dalam menerapkan dalam proses pembelajaran dapat
berjalan dengan benar. Dengan adanya rambu-rambu tentunya akan mengurangi
kemungkinan keluar dari koridor yang semestinya.
E. Konsep Konteks pada Pendekatan Pembelajaran Realistik
Seperti
yang telah dituliskan sebelumnya bahwa konteks dalam pembelajaran realistik
memiliki maksud tersendiri. Kontekstual dalam pendekatan realistik tidak harus
selamanya dalam artian nyata yang sesuai dengan pengalaman siswa. Konteks
disini dapat pula berupa hal yang dapat dijangkau oleh imajinasi siswa,
sehingga tidak harus dalam bentuk konkret. Menurut De Lange (Maulana dkk, 2011,
hlm. 11) membedakan tiga jenis konteks jika dilihat berdasarkan kesempatan
siswa untuk matematisasi, yaitu: konteks orde satu, konteks orde dua, dan
konteks orde tiga.
1.
Konteks
orde satu, hanyalah mencakup penterjemahan soal-soal matematika yang tersajikan
dalam bentuk teks (misalnya: tentukan jarak terpendek).
2.
Konteks
orde dua, pada dasarnya menyajikan kesempatan untuk melakukan matematisasi
(misalnya: kalimat linier, polinom).
3.
Konteks
orde tiga, merupakan konteks yang memberikan peluang bagi siswa untuk menemukan
konsep baru dalam matematika (misalnya: perkembangbiakan kelinci di Australia;
gerak jatuh bebas).
Konteks
berdasarkan derajat realitasnya, De Lange (Maulana, dkk., 2010, hlm. 11) dibedakan
menjadi tiga jenis.
1.
Tidak
ada konteks.
2.
Konteks
kamuflase.
3.
Konteks
relevan dan esensial.
Dari
ketiga macam tersebut dapat dipaparkan bahwa yang dimaksud dengan tidak ada
konteks adalah konteksnya nyata namun hanyalah dalam bentuk soal matematika.
Sedangkan untuk konteks kamuflase berarti konteks yang disajikan tidak
seluruhnya relevan. Konteks esensial merupakan konteks
yang relevan, yang perlu diperhatikan bahwa konteks lebih penting dalam
merangsang serta menunjang refleksi daripada hanya menghadirkan suatu data dan
situasi yang harus real.
Banyak yang bilang kalau ingin
pintar harus banyak membaca. Orang tua, guru di sekolah, serta masyarakat luas
beranggapan seperti ini. Ternyata, membaca merupakan cara belajar yang
yang paling sedikit kontribusinya terhadap apa yang kita pahami. Menurut Dr. Vernon
A. Magnesen (Tanpa nama, 2009), membaca hanya berkontribusi 10% dari apa yang
kita pahami. Selain membaca, belajar juga dapat dilakukan dengan mendengar,
melihat, melihat dan mendengar, berbicara, serta berbicara dan berbuat. Cara
belajar yang paling baik menurut Vernon, adalah berbicara dan berbuat. Metode
belajar ini berkontribusi hingga 90% dari apa yang kita pahami. Sementara
itu, berbicara menyumbang 70% terhadap pengetahuan kita, melihat dan mendengar
berkontribusi 50%, melihat 30% dan mendengar 20%. Intinya, membaca hanya
langkah awal meningkatkan pengetahuan kita.
Dari pemaparan diatas dapat
disimpulkan bahwa belajar: 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang
kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan
dengar, 70% dari apa yang kita bicarakan, dan 90% dari apa yang kita bicarakan
dan lakukan. Nah, agar pengetahuan kita bertambah secara signifikan,
aktivitas membaca harus diikuti dengan banyak mendengar, mengamati, berdiskusi
dan berbuat, hal ini sejalan dengan karakteristik dan prinsip dari pendekatan
pembelajaran realistik yang melibatkan aktivitas dalam pembelajarannya.
Gambar 1.1
Bagan Tingkat Kontribusi dalam
Pemerolehan Pengetahuan
F. Tahapan Pendekatan Matematika Realistik
Pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan matematika realistik menekankan akan pentingnya konteks nyata yang
dikenal siswa yang akan menjadi dasar bagi mereka untuk mengkonstruksi sendiri
pengetahuan matematika. Menurut Freudenthal (Tarigan, 2006, hlm. 4), konstruksi
pengetahuan matematika yang dilakukan oleh siswa berlangsung dalam proses yang
dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention).
Proses reinvensi terbimbing memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri proses yang mirip dengan konsep
matematika yang dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mencipta ulang konsep
matematika dengan dengan bimbingan dari guru dan memanfaatkan bahan ajar
sertamedia yang ada. Proses penciptaan ulang konsep matematika yang dilakukan
oleh siswa harus dilakukan secara bertahap, mulai dari penggunaan pengetahuan
dan strategi formal dan ituitif menuju ke yang lebih formal dan abstrak.
Menurut Gravemejer (Tarigan, 2006, hlm.
4), proses reinvensi berlangsung dalam empat tahap.
1.
Tahap
situasional, pengetahuan dan strategi yang bersifat situasional dan terbatas
digunakan dalam konteks situasi yang sedang dihadapi.
2.
Tahap
refrensial, model situasi dan strategi khusus yang digunakan untuk menjelaskan
situasi masalah yang sedang dihadapi.
3.
Tahap
umum, model dan strategi digunakan untuk menghadapi berbagai macam situasi
masalah yang mirip.
4.
Tahap
formal, prosedur dan notasi baku digunakanuntuk memecahkan masalah
matematika.
Skenario pembelajaran yang baik perlu
dirancang oleh guru dalm rangka menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif
serta mampu memotivasi siswa supaya mau belajar. Pendapat lain menurut
Gravemejer (Tarigan, 2006, hlm. 5) pembelajaran matematika memiliki lima tahapan
yang harus dilalui siswa yaitu: “Penyelesaian masalah, penalaran, komunikasi,
kepercayaan diri, dan representasi”.
1.
Penyelesaian
Masalah
Pada tahap ini siswa diajak untuk dapat
menyelesaikan masalah sesuai dengan ide serta caranya sendiri. Konsep
matematika yang dipelajari siswa harus ditata menurut gagasan baru mereka.Siswa
diharapkan mampu berpikir praktis agar konsep mudah dimengerti dalam konteks
yang lebih luas.
2.
Penalaran
Pada tahp ini siswa dilatih untuk
bernalar, menyelesaikan masalah serta soal yang sedang dikerjakan. Siswa
diarahkan supaya mampu mempertanggungjawabkan ide atau cara yang telah
ditemukannya untuk memecahkan masalah dalam bentuk pengerjaan soal.
3.
Komunikasi
Tahap ini sudah memasuki tahap formal.
Siswa diharapkan mampu mengkomunikasikan kepada teman-temannya cara yang
dipilihnya untuk menyelesaikan masalah yang ada pada konsep matematika yang
sedang dibahas. Pada tahap ini diharapkan dapat memunculkan kemampuan berpikir
kritis siswa, dimana siswa diperbolehkan menyanggah jawaban milik temannya yang
berbeda pendapat. Sanggahan yang dikemukakan harus logis serta tidak
menjatuhkan mental siswa lain yang sedang menyampaikan idenya. Ketika ada perbedaan
cara, maka sanggahan merupakan cara bagi setiap siswa untuk bertukar pendapat
rangka menemukan cara penyelesaian masalah yang paling mudah dimengerti baik
oleh perseorangan maupun bersama.
4.
Kepercayaan
diri
Pelaksanaan tahap ini bersamaan dengan tahap
komunikasi. Siswa tentu memerlukan keberanian serta rasa percaya diri untuk
menyampaikan ide pemecahan masalah kepada teman-temannya. Bahkan ketika ada
sanggahan dari teman-temannya, ia diharapkan mampu mempertanggungjawabkan
idenya dengan memberikan jawaban yang jelas baik secara lisan maupun tulisan.
5.
Representasi
Pada tahap ini siswa sudah mengetahui
beberapa alternatif pemecahan masalah, baik itu yang berasal darinya maupun
dari yang lain, khususnya dari siswa yang lain. Beberapa alternatif ini memberikan
kebebasan kepada siswa untuk memilih cara mana yang akan digunakan dalam
pemecahan masalah mengenai konsep yang sedang dibahas. Siswa diharapkan mampu
membangun penalaran serta kepercayaan dirinya melalui pemilihan cara yang
paling mudah dimengerti. Cara pemecahan
masalah yang telah dipilih siswa menjadi pengetahuan mereka untuk mampu
menyelesaiakan permasalahan lain yang memiliki kemiripan serta konteks yang
lebih luas.
Proses
pembelajaran matematika realistik harus dimulai dari masalah-masalah yang real
sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang
bermakna. Perbaikan proses pembelajaran dapat dititik beratkan pada aspek
kegiatan pembelajaran. Hal tersebut menekankan pada peran guru sebagai
pembimbing dan fasilitator bagi siswa dalam proses rekonstruksi konsep
matematika. Pembelajaran dapat dilakukan dengan meningkatka interaksi dengan
lingkungan fisik, sosial maupun budaya sehingga siswa mampu membangun pemahaman
dan pengetahuan terhadap dunia di sekitarnya.
G. Kelebihan dan Kekurang Pendekatan Pembelajaran Realistik
Setiap
pendekatan pembelajaran tentunya tidak ada yang sempurna selalu saja memiliki
kelebihan dan kekurangannya. Namun dari kelebihan dan kekurangan ini jangan
terlalu dipermasalahkan oleh seorang guru. Janganlah melihat dari satu sisi
saja tapi harus melihat dari dua sisi agar didapatkan keputusan yang bijak.
Jika dilihat dari prinsip dan karakteristik pendekatan realistik
itu sendiri maka dapat disimpulkan kelebihan dan kekurangannya. Berikut akan
dipaparkan kelebihan dan kekuranganya tersebut.
1.
Kelebihan
pendekatan pembelajaran realistik.
a.
Pelajaran
menjadi cukup menyenangkan. Hal ini karena siswa dilibatkan langsung dalam
pembelajaran dengan didukung media yang menarik.
b.
Materi
dapat dipahami dengan lebih bermakna oleh sebagian besar siswa. Karena sesuai
dengan prinsip perkembangan Piaget, bahwa anak sekolah dasar beradapada tahap
operasional kongkret.
c.
Dapat
menggunakan alat peraga yang ada disekeliling yang mudah didapatkan.
d.
Melatih
keterampilan psikomotor siswa.
e.
Melatih
kemampuan berpikir kreatif siswa.
2.
Kekurangan
pendekatan realistik.
a.
Sulit
diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40-45 orang).
b.
Dibutuhkan
waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
c.
Siswa
yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu
memahami materi pelajaran.
H. Skenario Pembelajaran Realistik
Skenario
Pendekatan Pembelajaran Realistik Matematika
Kelas
/ Semester : II / 2
Pokok
Bahasan : Bilangan
Subpokok
Bahasan : Perkalian dan pembagian
Pada pertemuan sebelumnya, setiap siswa
harus membawa barang-barang untuk dijadikan media pembelajaran pada
pembelajaran perkalian dan pembagian. Adapaun barang yang harus dibawa
1.
setiap
siswa laki-laki harus membawa 5 butir kelereng, sedangkan
2.
setiap
siswa perempuan harus membawa 5 jepitan rambut.
No.
|
Tahapan
|
Kegiatan Guru
|
Kegiatan Siswa
|
Alokasi Waktu
|
1.
|
Situasional
Pengetahuan
dan strategi yang bersifat situasional dan terbatas digunakan dalam konteks
situasi yang sedang dihadapi.
|
Guru
meminta untuk mengamati benda-benda yang ada di kelas, misalnya kursi
|
Siswa
mengamati benda-benda yang ada di kelas, misalnya kursi.
|
5 Menit
|
Guru
memberikan siswa beberapa pertanyaan, misalnya:
a.
Berapa jumlah siswa di kelas ini?
b.
Berapa jumlah kursi yang ada di kelas ini?
|
Siswa
menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh guru.
|
|||
Guru
membagi siswa menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok terdiri dari 3-5 orang
siswa.
(pengelompokan
siswa berdasarkan jenis kelamin)
|
Siswa
duduk secara berkelompok, sesuai dengan instruksi guru.
|
|||
2.
|
Refrensial
Model
situasi dan strategi khusus yang digunakan untuk menjelaskan situasi masalah
yang sedang dihadapi.
|
Guru
memberikan lembar kerja siswa (LKS) kepada tiap kelompok.
|
Siswa
dalam kelompok menerima LKS yang telah diberikan oleh guru.
|
30 Menit
|
Guru
menjelaskan prosedur pengerjaan LKS.
|
Siswa
menyimak penjelasan guru tentang prosedur pengerjaan LKS.
|
|||
Guru
meminta kepada setiap siswa laki-laki untuk mengeluarkan 5 butir kelereng dan
setiap siswa perempuan mengeluarkan 5 buah jepitan rambut yang telah dibawa
oleh mereka.
|
Setiap
siswa masing-masing mengeluarkan tugas dari guru yang pada hari sebelumnya telah
diinstruksikan, untuk laki-laki membawa lima buah kelereng dan perempuan lima
buah jepitan rambut.
|
|||
Guru
memberikan kepada setiap kelompok masing-masing 1 kotak.
|
Siswa
dalam kelompoknya mendapatkan satu buah kotak.
|
|||
Guru
meminta setiap siswa untuk melakukan percobaan 1 secara berkelompok.
Percobaan 1:
Setiap
siswa laki-laki diminta untuk menyimpan1 butir kelereng dan siswa perempuan
menyimpan 1 jepitan rambut ke dalam
kotak kelompoknya masing-masing secara bergiliran. Selanjutnya tanyakan
kepada siswa:
a.
Berapa orang atau berapa kali menyimpan 1 kelereng
atau jepitan rambut ke dalam kotak?
b.
Berapa jumlah kelereng atau jepitan yang ada dalam kotak kelompok
masing-masing?
|
Setiap
siswa dalam kelompoknya memasukan satu buah kelereng untuk siswa laki-laki
dan jepitan rambut untuk siswa perempuan kedalam kotak.
a.
Siswa menjawab pertanyaan dari guru.
b.
Siswa menghitung jumlah kelereng yang ada dalam
kotak pada kelompoknya masing-masing.
|
|||
Guru
meminta setiap kelompok untuk mencatat hasil percobaan pada LKS yang telah
disediakan.
|
Siswa
mencatatkan percobaannya pada format
LKS yang telah tersedia.
|
|||
Guru
membimbing siswa secara teknis dalam melakukan percobaan 1
|
Siswa
mendiskusikan hasil catatan dalam
kelompoknya.
|
|||
Guru
berkeliling pada tiap kelompok dan memberikan kesempatan pada mereka untuk
bertanya pada percobaan tersebut.
|
Siswa
bertanya pada guru jika ada hal yang belum dipahami pada percobaan 1
tersebut.
|
|||
Guru
membimbing siswa untuk menemukan konsep perkalian, yaitu suatu operasi
penjumlahan berulang.
|
Siswa
dalam kelompok mencoba untuk menafsirkan maksud dari percobaan 1 tersebut.
|
|||
Guru
mengklarifikasi hasil temuan mereka.
|
Siswa
dalam kelompok mengemukakan hasil temuan
kelompoknya pada percobaan 1.
|
|||
Guru
menjelaskan prosedur percobaan 2 dengan jelas kepada siswa.
|
Siswa
dalam kelompok menyimak penjelasan dari guru.
|
|||
Guru
meminta siswa untuk melakukan percobaan 2
|
Siswa
dalam kelompok melakukan percobaan 2
|
|||
Guru
meminta kepada masing-masing siswa untuk mengambil kembali kelereng dan
jepitan rambutnya secara bergiliran pada kotak.
|
Siswa
kembali mengambil kelereng ataupun jepitan rambutnya masing-masing secara
bergiliran pada kotak.
|
|||
Guru
bertanya kepada siswa:
Berapa
orang atau berapa kali mengambil 1 kelereng atau jepitan rambut ke dalam
kotak?
|
Siswa
menanggapi pertanyaan dari guru tersebut.
|
|||
Guru
meminta setiap kelompok untuk mencatat hasil percobaan 2 pada LKS yang telah
disediakan.
|
Siswa
dalam kelompok masing-masing mencatat hasil diskusinya.
|
|||
Guru
membimbing siswa secara teknis dalam melakukan percobaan 2
|
Siswa
mendiskusikan hasil catatan dalam
kelompoknya.
|
|||
Guru
berkeliling pada tiap kelompok dan memberikan kesempatan pada mereka untuk
bertanya pada percobaan tersebut.
|
Siswa
bertanya pada guru jika ada hal yang belum dipahami pada percobaan 2
tersebut.
|
|||
Guru
membimbing siswa untuk menemukan konsep pembagian, yaitu suatu operasi
pengurangan berulang.
|
Siswa
dalam kelompok mencoba untuk
menafsirkan maksud dari percobaan 2 tersebut.
|
|||
Guru
mengklarifikasi hasil temuan mereka.
|
Siswa
dalam kelompok mengemukakan hasil temuan
kelompoknya pada percobaan 2.
|
|||
Guru
menginstruksikan kepada siswa untuk mencoba mendiskusikan pada
percobaan-percobaan selanjutnya dengan prosedur yang sama.
|
Siswa
dalam kelompok mencoba pada percobaan berikutnya.
|
|||
3.
|
Tahap Umum
Model
dan strategi digunakan untuk menghadapi berbagai macam situasi masalah yang
mirip.
|
Guru
membimbing siswa untuk mencoba pada konteks yang lain.
|
Siswa
mencoba mengaplikasikan pada konteks yang baru.
|
10 Menit
|
Guru
memberikan berbagai masalah baru
|
Siswa
mencoba memecahkan masalah yang disampaikan oleh guru.
|
|||
4.
|
Tahap formal
Prosedur
dan notasi baku digunakan untuk memecahkan masalah matematika.
|
Guru
membimbing siswa untuk membuat aturan baku tentang konsep perkalian dan
pembagian.
|
Siswa
dalam kelompok berdiskusi untuk membuat aturan baku tentang konsep perkalian
dan pembagian.
|
10 Menit
|
Guru
membimbing siswa untuk mengaplikasikan konsep temuannya pada konteks yang
lain.
|
Siswa
mencoba mengaplikasikan konsep temuannya pada konteks yang lain.
|
Lembar
Kerja Siswa
Kelompok
|
:
|
|
Tujuan
Pembelajaran
|
:
|
Siswa
dapat memahami konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang dan konsep
pembagian sebagai pengurangan berulang.
|
A. Langkah-langkah
percobaan:
a. Siswa
laki-laki “menambah” 1 butir kelereng dan siswa perempuan “menambah” 1 jepitan
rambut ke dalam kotak kelompoknya
masing-masing secara bergiliran.
b. Catat
hasil pekejaan kalian dalam format:
|
c. Jawablah
pertanyaan berikut:
a.
Berapa
orang atau berapa kali “menambah” 1 kelereng atau jepitan rambut ke dalam
kotak?
b.
Berapa
jumlah kelereng atau jepitan yang ada dalam kotak kelompok setelah setiap
anggota kelompok “menambah” 1 kelereng secara bergiliran?
d.
Selanjutnya
setiap siswa laki-laki dalam kelompok, “mengambil” kembali 1 kelereng dan siswa
perempuan “mengambil” kembali 1 jepitan rambut yang ada di kotak kelompoknya
tersebut sampai kotak kembali kosong.
e.
Catat
hasil pekejaan kalian dalam format:
|
f. Jawablah
pertanyaan berikut:
· Berapa orang
atau berapa kali mengambil 1 kelereng atau jepitan rambut yang ada di dalam
kotak sampai habis?
B. Ulangi
percobaan di atas dengan setiap siswa “menambah” dan “mengambil” 2-5 kelereng
atau jepitan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mohamad dkk. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
Pedagogiana Press
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2014). Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan). [Online]. Tersedia di: http://kbbi.web.id/ . Diakses 2 Maret 2014
Djuanda,
Dadan dkk. (2009). Model Pembelajaran di Sekolah Dasar. Sumedang: UPI
Djuanda,
Dadan dkk. (2010). Ragam Model Pembelajaran di Sekolah Dasar. Sumedang: UPI
Tanpa
Nama. (2009). Belajar Bukan Sekedar Membaca. [Online]. Tersedia di: http://rumahsejutaide.wordpress.com/2009/04/07/belajar-bukan-sekadar-membaca/. Diakse 3 Maret 2014.
Tarigan, Daitin. (2006). Pembelajaran Matematika Realistik.
Jakarta: Depdiknas.
versi FULL Makalah ini dapat di DOWLOAD di bawah ini :
DOWNLOAD MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA FULL
0 komentar:
Post a Comment