Monday, 8 June 2015

PENDEKATAN REALISTIK dan RPPNYA



WAS KUMMAT

(Kamu Suka Matematika)

Diajukan untuk Memenuhi Salahsatu Tugas
Matakuliah Model Pembelajaran Matematika.

 

Disusun oleh :
Kelompok 10
Dede Ahmad Sobandi            (1105194/07)
Egi Agustian                           (1105661/15)
M. Junaedi                              (1101465/23)
Topik Rusmana                       (1105142/34)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
KAMPUS SUMEDANG
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014

 

PENDEKATAN REALISTIK

A.    Sejarah Pendekatan Realistik

Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (Suryadi, dkk., 2007, hlm. 731), berdasarkan sejarahnya Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali berkembang di Belanda sejak awal tahun 1970-an. Orang yang pertama mengembangkannya adalah Freudenthal dan kawan-kawan dari Freudenthal Institute di Belanda. Dalam pandangan Freudenthal, agar matematika memiliki nilai kemanusiaan (human value) maka pembelajarannya haruslah dikaitkan dengan realita, dekat dengan pengalaman anak serta relevan untuk kehidupan masyarakat. Selain itu Freudenthal juga berpandangan bahwa matematika sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu bahan ajar yang harus ditransfer secara langsung sebagai matematika siap pakai, melainkan harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia. Pembelajaran matematika sebaiknya dilakukan dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk mencoba menemukan sendiri melalui bantuan tertentu dari guru. Dalam istilah Freudenthal kegiatan seperti ini disebut guided reinvention, yakni suatu kegiatan yang mendorong anak untuk menemukan prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui kegiatan pembelajaran yang secara spesifik dirancang oleh guru. Dengan demikian, prinsip utama pembelajaran matematika tidaklah terletak pada matematika sebagai suatu sistem tertutup yang kaku, melainkan pada aktivitasnya yang lebih dikenal sebagai suatu proses matematisasi (process of mathematization)
Dalam hal ini, Freudenthal mengutamakan suatu proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa atau terkenal dengan istilah “student centered”. Mengajak siswa terlibat aktif dalam pembelajaran merupakan langkah yang diambil agar pembelajaran tersebut lebih bermakna dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Pada perkembangan selanjutnya, Treffers (Suryadi, dkk., 2007, hlm. 731) mencoba memformulasikan proses matematisasi, dalam konteks pendidikan matematika, menjadi dua tipe yakni matematisasi horizontal dan vertikal. Dalam tahap horizontal, pada akhirnya anak akan sampai pada mathematical tools seperti konsep, prinsip, algoritma, atau rumus yang dapat digunakan untuk membantu mengorganisasi serta memecahkan permasalahan yang didesain terkait dengan konteks kehidupan sehari-hari. Matematisasi vertikal adalah suatu proses reorganisasi yang terjadi dalam sistem matematika sendiri, misalnya, menemukan suatu keterkaitan antara beberapa konsep dan strategi serta mencoba menerapkannya dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Dengan demikian, matematisasi horizontal memuat suatu proses yang diawali dari dunia nyata menuju dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung makna suatu proses perpindahan dalam dunia simbol itu sendiri. Menurut Freudenthal, kedua proses matematisasi ini tidak bisa dipandang secara sendiri-sendiri, melainkan merupakan suatu kesastuan yang memiliki nilai sama pentingnya  dalam proses pembelajaran matematika.


Pada tahun 1998, Indonesia mulai melirik pendekatan RME ini yang antara lain ditandai dengan pengiriman sejumlah dosen untuk mengambil program S3 di Belanda. Di antara mereka yang mengambil S3 dalam bidang pendidikan matematika diharuskan berkonsentrasi pada pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik. Awal tahun 2001, DIKTI  melalui proyek PGSM mencoba menginisiasi ujicoba pembelajaran dengan pendekatan realistik ini di kelas-kelas awal sekolah dasar. Perguruan Tinggi yang terlibat dalam ujicoba ini adalah Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Negeri Surabaya. Adapun beberapa sekolah yang terlibat untuk kawasan Bandung adalah SDPN yang ada di lingkungan UPI, SDN Sabang, dan MIN Cicendo (Suryadi, dkk., 2007, hlm. 731). 

B.     Konsep Pendekatan Pembelajaran Realistik

Pendekatan pembelajaran realistik sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti teori konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Namun, baik konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, sedangkan pendekatan realistik adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep pendekatan realistik sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang dibebani oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.
Pengertian pendekatan realistik menurut Sudarman (Zahra, 2010), “Pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”. Menurut Tarigan (2006, hlm. 4), “Pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan yang ditujukan untuk pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur dengan berorientasi pada penalaran matematika dalam menyelesaikan masalah”.
Matematika Realistik yang telah diterapkan dan dikembangkan di Belanda teorinya mengacu pada matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika merupakan aktifitas manusia. Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik, strategi- strategi informasi siswa berkembang ketika mereka menyeleseikan masalah pada situasi- situsi biasa yang telah diakrapiniya, dan keadaan itu yang dijadikannya titik awal. Megawati (Zahra, 2010) mengemukakan bahwa, “Pendekatan realistik merupakan cara mengajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelediki dan memahami konsep matematika melalui suatu masalah dalam situasi yang nyata”. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran bermakna bagi siswa.
Realistic Mathematic Education (RME) menurut Zulkardi (Ali, dkk, 2007, hlm 732) adalah, “Pendekatan pengajaran yang bertitik tolak pada hal-hal yang nyata bagi siswa”. Teori ini menekankan keterampilan proses, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri, sebagai kebalikan dari guru memberi dan pada akhirnya murid menggunakan matematika itu untuk menyeleseikan masalah baik secara individual ataupun kelompok. Pada pendekatan Realistik peran guru tidak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator. Sementara murid berpikir, mengkomunikasikan argumennya, mengklasifikasikan jawaban mereka, serta melatih saling menghargai strategi atau pendapat orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa RME atau pendekatan realistik adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sehari-hari sebagai sumber inspirasi dalam pembentukan konsep dan mengaplikasikan konsep-konsep tersebut pada hal-hal nyata atau real bagi siswa dan mengacu pada konstruktivis sosial.

C.    Karakteristik Pendekatan Pembelajaran Realistik

Pendekatan pembelajaran realistik memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Karakteristik inilah yang membuat pembelajaran realistik memiliki kekhasan dalam proses pembelajarannya. Terdapat lima karakteristik pendekatan pembelajaran realistik yang dikemukakan oleh Gravemejer (Maulana, dkk., 2009) antara lain:
1.      Phenomenological exploration or use contex.
Pendekatan realistik memiliki ciri dalam pembelajarannya menggunakan konteks. Konteks adalah lingkungan keseharian siswa yang nyata. Dalam matematika konteks tidak selalu diartikan konkret, dapat juga sesuatu yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan siswa. Konteks tidak selalu dikaitkan dengan kehidupan siswa atau dengan pengalaman.
Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, guru harus memanfaatkan pengetahuan awal siswa untuk memahami konsep-konsep matematika melalui pemberian suatu masalah kontekstual. Siswa tidak belajar konsep baru matematika dengan cara langsung menerima jadi dari guru atau orang lain melalui penjelasan, tetapi membangun sendiri pemahaman konsep dengan memanfaatkan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa itu sendiri. Dengan kata lain, masalah kontekstual diharapkan dapat memicu dan menopang terlaksananya suatu proses penemuan, sehingga siswa nantinya secara formal dapat memahami konsep matematika.
2.      The use models or bridging by vertical instrument.
Model diarahkan pada model konkret meningkat ke abstrak.Dalam proses pemodelan, siswa diharapkan dapat menemukan hubungan antara bagian-bagian masalah kontekstual dan mentransfernya ke dalam model matematika melalui penskemaan, perumusan, serta pemvisualan. Pemodelan bisa dengan penggunaan media berupa gambar, grafik, atau simbol. Pemodelan bertujuan untuk menjembatani antara masalah kontekstual dengan matematika formal yang bersifat vertikal. Dari karakteristik ini diharapkan  siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, representasi dan komunikasi matematika.
Pada model konkret, model dibuat menyerupai keadaan sebenarnya, dan semua komponen yang terkait dalam soal kontekstual digambarkan, misalnya gambar buku, siswa, dan uang. Dengan kata lain gambar tersebut dapat memberikan kesan visual bahwa banyaknya buku akan dibagi kepada ketiga siswa, demikian juga dengan banyak uang. Sedangkan pada model diagram, model dibuat tidak persis dengan keadaan sebenarnya, misalnya buku digambarkan sebagai bulatan, segiempat atau bentuk lainnya.

3.      The use of students own production and constructions of students contribution.
Konstribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi siswa itu sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka kearah yang lebih formal atau baku melalui bimbingan guru.Strategi-strategi informal siswa berupa skema, grafik, diagram, atau pensimbolan matematika serta prosedur pemecahan masalah kontekstual sebagai sumber inspirasi dalam mengkonstruk pengetahuan matematika formal diharapkan dapat berkembang ke arah yang positif. Tanpa sikap yang positif terhadap matematika maka karakterisitk kontribusi dan produksi siswa sangat sulit untuk dapat dikembangkan, sebaliknya dengan siswa memiliki kontribusi dan produksi yang baik dalam proses pembelajaran sangat dimungkinkan akan menumbuhkan sikap yang lebih positif terhadap matematika.

4.      The interactive character or teaching process or interactivity.
Interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru maupun sebaliknya merupakan bagian penting dalam pendekatan matematika realistik. Bentuk interaksi yang terjadi dalam pembelajaran diantaranya dapat berupa negosiasi secara eksplisit, intervensi kooperatif, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi dan evaluasi sesama siswa dan guru.
Bentuk interaksi ini digunakan siswa untuk memperbaiki atau memperbaharui model-model yang dikonstruksi sehingga diperoleh model yang tepat. Sedangkan guru menggunakannya untuk menuntun dan membimbing siswa sehingga sampai memahami konsep matematika formal. Interaksi sebagai salah satu karakteristik pendekatan matematika realistik sangat memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematik. Sejauh mana interaksi ini terjadi akan tergambar melalui observasi pembelajaran, yang dipandang sebagai alat untuk memotret kejadian pembelajaran di kelas.

5.      Intertwining or various learning strand.
Konsep yang dipelajari siswa dengan prinsip-prinsip belajar-mengajar matematika realistik harus merupakan jalinan dengan konsep atau materi lain baik dalam matematika itu sendiri maupun dengan yang lain, sehingga matematika bukanlah suatu pengetahuan yang bercerai berai melainkan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang utuh dan terpadu. Hal ini dimaksudkan agar proses pemahaman siswa terhadap konsep dapat dilakukan secara bermakna dan holistik.

D.    Prinsip Pendekatan Pembelajaran Realistik

Prinsip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (2010) diartikan sebagai kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Dari paparan tersebut maka prinsip pembelajaran realistik merupakan dasar berpikir dan bertindak yang benar dalam pembelajaran realistik. Pemahaman akan prinsip-prinsip pembelajaran realistik mutlak harus dikuasai oleh seorang guru yang hendak menggunakan pendekatan pembelajaran ini. Pemahaman terhadap prinsip juga tentunya agar guru ketika mengimplementasikan pada proses pembelajaran tidak terjadi kekeliruan atau kesalahan. Jika pembelajaran realistik berpijak pada prinsip yang melandasinya maka tentunya pembelajaran akan lebih bermakna, sesuai dengan sifat pembelajaran realistik. Menurut Suwangsih& Tiurlina (2006, hlm. 136) terdapat lima prinsip pembelajaran realistik yang menjiwai setiap aktivitas pembelajaran matematika.

1.      Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
2.      Perhatian diberikan pada pengembangan model-model, situasi, skema, dan symbolsimbol.
3.      Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi  onstruktif dan produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkonstruksi sendiri  yang mungkin berupa algoritma, rule, atau aturan), sehingga dapat membimbing para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal.
4.      Interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika.
5.      Intertwinning (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.

Dari kelima prinsip pembelajaran realistik tersebut dapat dijadikan rambu-rambu bagi guru dalam merancang suatu skenario pembelajaran yang menggunakan pendekan realistik. Suwangsih & Tiurlina (2006, hlm. 136) mengemukakan tiga rambu-rambu desain pembelajaran realistik.

1.      Bagaimana guru menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting pada pembelajaran.
2.      Bagaimana guru menstimulasi, membimbing, dan memfasilitasi agar proses algoritma, simbol, skema dan model, yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal.
3.      Bagaimana guru memberi atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal.

Dari rambu-rambu tersebut sekiranya jelaslah untuk menerapkan desain pembelajaran yang menggunakan pendekata realistik tentunya guru tahu apa saja yang harus dipersiapkan, sehingga dalam menerapkan dalam proses pembelajaran dapat berjalan dengan benar. Dengan adanya rambu-rambu tentunya akan mengurangi kemungkinan keluar dari koridor yang semestinya.

E.     Konsep Konteks pada Pendekatan Pembelajaran Realistik

Seperti yang telah dituliskan sebelumnya bahwa konteks dalam pembelajaran realistik memiliki maksud tersendiri. Kontekstual dalam pendekatan realistik tidak harus selamanya dalam artian nyata yang sesuai dengan pengalaman siswa. Konteks disini dapat pula berupa hal yang dapat dijangkau oleh imajinasi siswa, sehingga tidak harus dalam bentuk konkret. Menurut De Lange (Maulana dkk, 2011, hlm. 11) membedakan tiga jenis konteks jika dilihat berdasarkan kesempatan siswa untuk matematisasi, yaitu: konteks orde satu, konteks orde dua, dan konteks orde tiga.

1.      Konteks orde satu, hanyalah mencakup penterjemahan soal-soal matematika yang tersajikan dalam bentuk teks (misalnya: tentukan jarak terpendek).
2.      Konteks orde dua, pada dasarnya menyajikan kesempatan untuk melakukan matematisasi (misalnya: kalimat linier, polinom).
3.      Konteks orde tiga, merupakan konteks yang memberikan peluang bagi siswa untuk menemukan konsep baru dalam matematika (misalnya: perkembangbiakan kelinci di Australia; gerak jatuh bebas).

Konteks berdasarkan derajat realitasnya, De Lange (Maulana, dkk., 2010, hlm. 11) dibedakan menjadi tiga jenis.

1.      Tidak ada konteks.
2.      Konteks kamuflase.
3.      Konteks relevan dan esensial.

Dari ketiga macam tersebut dapat dipaparkan bahwa yang dimaksud dengan tidak ada konteks adalah konteksnya nyata namun hanyalah dalam bentuk soal matematika. Sedangkan untuk konteks kamuflase berarti konteks yang disajikan tidak seluruhnya relevan. Konteks esensial merupakan konteks yang relevan, yang perlu diperhatikan bahwa konteks lebih penting dalam merangsang serta menunjang refleksi daripada hanya menghadirkan suatu data dan situasi yang harus real.
Banyak yang bilang kalau ingin pintar harus banyak membaca. Orang tua, guru di sekolah, serta masyarakat luas beranggapan seperti ini.  Ternyata, membaca merupakan cara belajar yang yang paling sedikit kontribusinya terhadap apa yang kita pahami. Menurut Dr. Vernon A. Magnesen (Tanpa nama, 2009), membaca hanya berkontribusi 10% dari apa yang kita pahami. Selain membaca, belajar juga dapat dilakukan dengan mendengar, melihat, melihat dan mendengar, berbicara, serta berbicara dan berbuat. Cara belajar yang paling baik menurut Vernon, adalah berbicara dan berbuat. Metode belajar ini berkontribusi hingga 90% dari apa yang kita pahami. Sementara itu, berbicara menyumbang 70% terhadap pengetahuan kita, melihat dan mendengar berkontribusi 50%, melihat 30% dan mendengar 20%. Intinya, membaca hanya langkah awal  meningkatkan pengetahuan kita.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa belajar:  10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita bicarakan, dan 90% dari apa yang kita bicarakan dan lakukan. Nah, agar pengetahuan kita bertambah secara signifikan, aktivitas membaca harus diikuti dengan banyak mendengar, mengamati, berdiskusi dan berbuat, hal ini sejalan dengan karakteristik dan prinsip dari pendekatan pembelajaran realistik yang melibatkan aktivitas dalam pembelajarannya.

Gambar 1.1
Bagan Tingkat Kontribusi dalam Pemerolehan Pengetahuan

F.     Tahapan Pendekatan Matematika Realistik

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik menekankan akan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa yang akan menjadi dasar bagi mereka untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika. Menurut Freudenthal (Tarigan, 2006, hlm. 4), konstruksi pengetahuan matematika yang dilakukan oleh siswa berlangsung dalam proses yang dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention).
Proses reinvensi terbimbing memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri proses yang mirip dengan konsep matematika yang dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mencipta ulang konsep matematika dengan dengan bimbingan dari guru dan memanfaatkan bahan ajar sertamedia yang ada. Proses penciptaan ulang konsep matematika yang dilakukan oleh siswa harus dilakukan secara bertahap, mulai dari penggunaan pengetahuan dan strategi formal dan ituitif menuju ke yang lebih formal dan abstrak.
Menurut Gravemejer (Tarigan, 2006, hlm. 4), proses reinvensi berlangsung dalam empat tahap.

1.        Tahap situasional, pengetahuan dan strategi yang bersifat situasional dan terbatas digunakan dalam konteks situasi yang sedang dihadapi.
2.        Tahap refrensial, model situasi dan strategi khusus yang digunakan untuk menjelaskan situasi masalah yang sedang dihadapi.
3.        Tahap umum, model dan strategi digunakan untuk menghadapi berbagai macam situasi masalah yang mirip.
4.        Tahap formal, prosedur dan notasi baku digunakanuntuk memecahkan masalah matematika.  

Skenario pembelajaran yang baik perlu dirancang oleh guru dalm rangka menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif serta mampu memotivasi siswa supaya mau belajar. Pendapat lain menurut Gravemejer (Tarigan, 2006, hlm. 5) pembelajaran matematika memiliki lima tahapan yang harus dilalui siswa yaitu: “Penyelesaian masalah, penalaran, komunikasi, kepercayaan diri, dan representasi”.
1.        Penyelesaian Masalah
Pada tahap ini siswa diajak untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan ide serta caranya sendiri. Konsep matematika yang dipelajari siswa harus ditata menurut gagasan baru mereka.Siswa diharapkan mampu berpikir praktis agar konsep mudah dimengerti dalam konteks yang lebih luas.
2.        Penalaran
Pada tahp ini siswa dilatih untuk bernalar, menyelesaikan masalah serta soal yang sedang dikerjakan. Siswa diarahkan supaya mampu mempertanggungjawabkan ide atau cara yang telah ditemukannya untuk memecahkan masalah dalam bentuk pengerjaan soal.
3.        Komunikasi
Tahap ini sudah memasuki tahap formal. Siswa diharapkan mampu mengkomunikasikan kepada teman-temannya cara yang dipilihnya untuk menyelesaikan masalah yang ada pada konsep matematika yang sedang dibahas. Pada tahap ini diharapkan dapat memunculkan kemampuan berpikir kritis siswa, dimana siswa diperbolehkan menyanggah jawaban milik temannya yang berbeda pendapat. Sanggahan yang dikemukakan harus logis serta tidak menjatuhkan mental siswa lain yang sedang menyampaikan idenya. Ketika ada perbedaan cara, maka sanggahan merupakan cara bagi setiap siswa untuk bertukar pendapat rangka menemukan cara penyelesaian masalah yang paling mudah dimengerti baik oleh perseorangan maupun bersama. 
4.        Kepercayaan diri
Pelaksanaan tahap ini bersamaan dengan tahap komunikasi. Siswa tentu memerlukan keberanian serta rasa percaya diri untuk menyampaikan ide pemecahan masalah kepada teman-temannya. Bahkan ketika ada sanggahan dari teman-temannya, ia diharapkan mampu mempertanggungjawabkan idenya dengan memberikan jawaban yang jelas baik  secara lisan maupun tulisan.
5.        Representasi
Pada tahap ini siswa sudah mengetahui beberapa alternatif pemecahan masalah, baik itu yang berasal darinya maupun dari yang lain, khususnya dari siswa yang lain. Beberapa alternatif ini memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih cara mana yang akan digunakan dalam pemecahan masalah mengenai konsep yang sedang dibahas. Siswa diharapkan mampu membangun penalaran serta kepercayaan dirinya melalui pemilihan cara yang paling mudah dimengerti.  Cara pemecahan masalah yang telah dipilih siswa menjadi pengetahuan mereka untuk mampu menyelesaiakan permasalahan lain yang memiliki kemiripan serta konteks yang lebih luas.  
Proses pembelajaran matematika realistik harus dimulai dari masalah-masalah yang real sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang bermakna. Perbaikan proses pembelajaran dapat dititik beratkan pada aspek kegiatan pembelajaran. Hal tersebut menekankan pada peran guru sebagai pembimbing dan fasilitator bagi siswa dalam proses rekonstruksi konsep matematika. Pembelajaran dapat dilakukan dengan meningkatka interaksi dengan lingkungan fisik, sosial maupun budaya sehingga siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia di sekitarnya.

G.    Kelebihan dan Kekurang Pendekatan Pembelajaran Realistik

Setiap pendekatan pembelajaran tentunya tidak ada yang sempurna selalu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya. Namun dari kelebihan dan kekurangan ini jangan terlalu dipermasalahkan oleh seorang guru. Janganlah melihat dari satu sisi saja tapi harus melihat dari dua sisi agar didapatkan keputusan yang bijak. Jika dilihat dari prinsip dan karakteristik pendekatan realistik itu sendiri maka dapat disimpulkan kelebihan dan kekurangannya. Berikut akan dipaparkan kelebihan dan kekuranganya tersebut.
1.       Kelebihan pendekatan pembelajaran realistik.
a.       Pelajaran menjadi cukup menyenangkan. Hal ini karena siswa dilibatkan langsung dalam pembelajaran dengan didukung media yang menarik.
b.      Materi dapat dipahami dengan lebih bermakna oleh sebagian besar siswa. Karena sesuai dengan prinsip perkembangan Piaget, bahwa anak sekolah dasar beradapada tahap operasional kongkret.
c.       Dapat menggunakan alat peraga yang ada disekeliling yang mudah didapatkan.
d.      Melatih keterampilan psikomotor siswa.
e.      Melatih kemampuan berpikir kreatif siswa.
2.       Kekurangan pendekatan realistik.
a.       Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40-45 orang).
b.      Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
c.       Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu memahami materi pelajaran.


H.    Skenario Pembelajaran Realistik

Skenario Pendekatan Pembelajaran Realistik Matematika

Kelas / Semester          : II / 2
Pokok Bahasan           : Bilangan
Subpokok Bahasan     : Perkalian dan pembagian

Pada pertemuan sebelumnya, setiap siswa harus membawa barang-barang untuk dijadikan media pembelajaran pada pembelajaran perkalian dan pembagian. Adapaun barang yang harus dibawa
1.      setiap siswa laki-laki harus membawa 5 butir kelereng, sedangkan
2.      setiap siswa perempuan harus membawa 5 jepitan rambut.

No.
Tahapan
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Alokasi Waktu
1.
Situasional
Pengetahuan dan strategi yang bersifat situasional dan terbatas digunakan dalam konteks situasi yang sedang dihadapi.
Guru meminta untuk mengamati benda-benda yang ada di kelas, misalnya kursi
Siswa mengamati benda-benda yang ada di kelas, misalnya kursi.
5 Menit
Guru memberikan siswa beberapa pertanyaan, misalnya:
a.    Berapa jumlah siswa di kelas ini?
b.   Berapa jumlah kursi yang ada di kelas ini?
Siswa menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh guru.

Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok terdiri dari 3-5 orang siswa.
(pengelompokan siswa berdasarkan jenis kelamin)
Siswa duduk secara berkelompok, sesuai dengan instruksi guru.
2.






























































Refrensial
Model situasi dan strategi khusus yang digunakan untuk menjelaskan situasi masalah yang sedang dihadapi.




































































Guru memberikan lembar kerja siswa (LKS) kepada tiap kelompok.
Siswa dalam kelompok menerima LKS yang telah diberikan oleh guru.
30 Menit













































Guru menjelaskan prosedur pengerjaan LKS.
Siswa menyimak penjelasan guru tentang prosedur pengerjaan LKS.
Guru meminta kepada setiap siswa laki-laki untuk mengeluarkan 5 butir kelereng dan setiap siswa perempuan mengeluarkan 5 buah jepitan rambut yang telah dibawa oleh mereka.
Setiap siswa masing-masing mengeluarkan tugas dari guru  yang pada hari sebelumnya telah diinstruksikan, untuk laki-laki membawa lima buah kelereng dan perempuan lima buah jepitan rambut.
Guru memberikan kepada setiap kelompok masing-masing 1 kotak.
Siswa dalam kelompoknya mendapatkan satu buah kotak.
Guru meminta setiap siswa untuk melakukan percobaan 1 secara berkelompok.
Percobaan 1:
Setiap siswa laki-laki diminta untuk menyimpan1 butir kelereng dan siswa perempuan menyimpan 1 jepitan rambut  ke dalam kotak kelompoknya masing-masing secara bergiliran. Selanjutnya tanyakan kepada siswa:
a.       Berapa orang atau berapa kali menyimpan 1 kelereng atau jepitan rambut ke dalam kotak?
b.      Berapa jumlah kelereng atau jepitan yang ada dalam kotak kelompok masing-masing?
Setiap siswa dalam kelompoknya memasukan satu buah kelereng untuk siswa laki-laki dan jepitan rambut untuk siswa perempuan kedalam kotak.
a.    Siswa menjawab pertanyaan dari guru.
b.    Siswa menghitung jumlah kelereng yang ada dalam kotak pada kelompoknya masing-masing.
Guru meminta setiap kelompok untuk mencatat hasil percobaan pada LKS yang telah disediakan.
Siswa mencatatkan percobaannya pada format  LKS yang telah tersedia.
Guru membimbing siswa secara teknis dalam melakukan percobaan 1
Siswa mendiskusikan hasil catatan   dalam kelompoknya.
Guru berkeliling pada tiap kelompok dan memberikan kesempatan pada mereka untuk bertanya pada percobaan tersebut.
Siswa bertanya pada guru jika ada hal yang belum dipahami pada percobaan 1 tersebut.
Guru membimbing siswa untuk menemukan konsep perkalian, yaitu suatu operasi penjumlahan berulang.
Siswa dalam kelompok mencoba untuk menafsirkan maksud dari percobaan 1 tersebut.
Guru mengklarifikasi hasil temuan mereka.
Siswa dalam kelompok mengemukakan hasil temuan  kelompoknya pada percobaan 1.
Guru menjelaskan prosedur percobaan 2 dengan jelas kepada siswa.
Siswa dalam kelompok menyimak penjelasan dari guru.
Guru meminta siswa untuk melakukan percobaan 2
Siswa dalam kelompok melakukan percobaan 2
Guru meminta kepada masing-masing siswa untuk mengambil kembali kelereng dan jepitan rambutnya secara bergiliran pada kotak.
Siswa kembali mengambil kelereng ataupun jepitan rambutnya masing-masing secara bergiliran pada kotak.
Guru bertanya kepada siswa:
Berapa orang atau berapa kali mengambil 1 kelereng atau jepitan rambut ke dalam kotak?
Siswa menanggapi pertanyaan dari guru tersebut.
Guru meminta setiap kelompok untuk mencatat hasil percobaan 2 pada LKS yang telah disediakan.
Siswa dalam kelompok masing-masing mencatat hasil diskusinya.
Guru membimbing siswa secara teknis dalam melakukan percobaan 2
Siswa mendiskusikan hasil catatan   dalam kelompoknya.
Guru berkeliling pada tiap kelompok dan memberikan kesempatan pada mereka untuk bertanya pada percobaan tersebut.
Siswa bertanya pada guru jika ada hal yang belum dipahami pada percobaan 2 tersebut.
Guru membimbing siswa untuk menemukan konsep pembagian, yaitu suatu operasi pengurangan berulang.
Siswa dalam kelompok mencoba  untuk menafsirkan maksud dari percobaan 2 tersebut.
Guru mengklarifikasi hasil temuan mereka.
Siswa dalam kelompok mengemukakan hasil temuan  kelompoknya pada percobaan 2.
Guru menginstruksikan kepada siswa untuk mencoba mendiskusikan pada percobaan-percobaan selanjutnya dengan prosedur yang sama.
Siswa dalam kelompok mencoba pada percobaan berikutnya.
3.
Tahap Umum
Model dan strategi digunakan untuk menghadapi berbagai macam situasi masalah yang mirip.
Guru membimbing siswa untuk mencoba pada konteks yang lain.
Siswa mencoba mengaplikasikan pada konteks yang baru.
10 Menit
Guru memberikan berbagai masalah baru
Siswa mencoba memecahkan masalah yang disampaikan oleh guru.
4.
Tahap formal
Prosedur dan notasi baku digunakan untuk memecahkan masalah matematika.

Guru membimbing siswa untuk membuat aturan baku tentang konsep perkalian dan pembagian.
Siswa dalam kelompok berdiskusi untuk membuat aturan baku tentang konsep perkalian dan pembagian.
10 Menit
Guru membimbing siswa untuk mengaplikasikan konsep temuannya pada konteks yang lain.
Siswa mencoba mengaplikasikan konsep temuannya pada konteks yang lain.







Lembar Kerja Siswa
Kelompok
:

Tujuan Pembelajaran
:
Siswa dapat memahami konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang dan konsep pembagian sebagai pengurangan berulang.

A.  Langkah-langkah percobaan:
a.    Siswa laki-laki “menambah” 1 butir kelereng dan siswa perempuan “menambah” 1 jepitan rambut  ke dalam kotak kelompoknya masing-masing secara bergiliran.
b.    Catat hasil pekejaan kalian dalam format:


.... + .... + .... + ....+ ........ = ....
 
 


                                       
c.    Jawablah pertanyaan berikut:
a.    Berapa orang atau berapa kali “menambah” 1 kelereng atau jepitan rambut ke dalam kotak?
b.    Berapa jumlah kelereng atau jepitan yang ada dalam kotak kelompok setelah setiap anggota kelompok “menambah” 1 kelereng secara bergiliran?
d.   Selanjutnya setiap siswa laki-laki dalam kelompok, “mengambil” kembali 1 kelereng dan siswa perempuan “mengambil” kembali 1 jepitan rambut yang ada di kotak kelompoknya tersebut sampai kotak kembali kosong.
e.    Catat hasil pekejaan kalian dalam format:


.... + .... + .... + ....+ ........ = ....
 
 


f.     Jawablah pertanyaan berikut:
·      Berapa orang atau berapa kali mengambil 1 kelereng atau jepitan rambut yang ada di dalam kotak sampai habis?

B.  Ulangi percobaan di atas dengan setiap siswa “menambah” dan “mengambil” 2-5 kelereng atau jepitan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohamad dkk. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2014). Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan). [Online]. Tersedia di: http://kbbi.web.id/ . Diakses 2 Maret 2014


Djuanda, Dadan  dkk. (2009). Model Pembelajaran di Sekolah Dasar. Sumedang: UPI
Djuanda, Dadan dkk. (2010). Ragam Model Pembelajaran di Sekolah Dasar. Sumedang: UPI
Tanpa Nama. (2009). Belajar Bukan Sekedar Membaca. [Online]. Tersedia di: http://rumahsejutaide.wordpress.com/2009/04/07/belajar-bukan-sekadar-membaca/.  Diakse 3 Maret 2014.
Tarigan, Daitin. (2006). Pembelajaran Matematika Realistik. Jakarta: Depdiknas.

Zahra. (2010). Mengajar Matematika Dengan Pendekatan Realistik . [Online]. Tersedia di: http://zahra-abcde.blogspot.com/2010/04/mengajar-matematika-dengan-pendekatan.html . Diakses 3 Maret 2014.


 versi FULL Makalah ini dapat di DOWLOAD di bawah ini :
DOWNLOAD MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA FULL 

0 komentar:

Post a Comment