Sunday, 17 May 2015

LANDASAN DAN TINGKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

LANDASAN DAN TINGKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kurikulum dan Pembelajaran




Disusun oleh:
1.    Diah Purnama Dewi   (1105211)
2.    Jajang Bayu Kelana    (1105371)
3.    Egi Agustian               (1105661)
4.    Khujah Iis Farsyafat   (1106316)
5.    Adinda Eka Rahayu   (1106375)

Kelompok 5
Kelas 2-C



PROGRAM S-1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
KAMPUS SUMEDANG
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kurikulum merupakan wahana belajar yang dinamis sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terus menerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang memiliki kedudukan cukup sentral dalam perkembangan pendidikan, oleh sebab itu dibutuhkan landasan yang kuat dalam pengembangan kurikulum agar pendidikan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Adapun yang menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum yaitu azas filosofis, azas psikologis dan azas sosiologis.
Landasan pengembangan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yang sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan tetapi harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan dan para guru serta pihak-pihak lain yang terkait dengan tugas-tugas pengelolaan pendidikan.
Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan Dalam pengembangan kurikulum  harus terlebih dahulu membahas landasan apa saja yang menjadi dasar pijakan dalam melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien.
Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia. Oleh karena itu dalam makalah yang berjudul “Landasan Dan Tingkatan Dalam Pengembangan Kurikulum” akan dibahas tiga landasan yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu azas filosofis, azas psikologis dan azas sosiologis.


B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana azas filosofis dalam pengembangan kurikulum?
2.      Bagaimana azas Psikologis dalam pengembangan kurikulum?
3.      Bagaimana azas Sosiologis dalam pengembangan kurikulum?

C.    Tujuan makalah
Adapun tujuan dari makalah ini antara lain untuk:
1.      Mengetahui azas filosofis dalam pengembangan kurikulum?
2.      Mengetahui azas psikologis dalam pengembangan kurikulum?
3.      Mengetahui azas sosiologis dalam pengembangan kurikulum?


BAB I
PEMBAHASAN
A.    Azas Filosofis
Filsafat membahas segala permasalahan manusia, termasuk pendidikan, yang disebut filsafat pendidikan. Filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik-praktik pendidikan, sedangkan praktik-praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijaksanaan” untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak manusia harus tahu dan berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berfikir secara sistematis,logis dan mendalam. Secara akademik filsafat berarti upaya untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalamnya, terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam mengkaji atau memahami alam semesta ini. Ilmu menggunakan pendekatan analitik, berusaha menguraikan keseluruhan dalam bagian-bagian yang kecil dan lebih kecil sedangkan filsafat berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian ke dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ada tiga cabang besar filsafat yaitu metafisika yang membahas tentang segala yang ada dalam ala mini, epistemologi yang membahas tentang kebenaran dan aksiologi yang membahas tentang nilai.
Filsafat pendidikan adalah semua upaya manusia untuk memahami hakikat pendidikan, bagaimana melaksanakan pendidikan, dan bagaimana upaya mencapai tujuan pendidikan. Ruang lingkup filsafat adalah segala sesuatu lapangan pemikiran manusia yang amat luas, segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar nyata, baik material konkrit maupun nonmaterial abstrak. Will Durant dalam Hamdani Ali (1990) membagi ruang lingkup filsafat menjadi lima, yaitu: (1) Logika, (2) Estetika ,(3) Etika, (4) Politik, dan (5) Metafisika.
Filsafat membahas segala permasalahan manusia, termasuk pendidikan, yang disebut filsafat pendidikan. Filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik-praktik pendidikan, sedangkan praktik-praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.
Setiap negara mempunyai landasan filosofis dan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, di Indonesia, landasan filosofis pengembangan sistem pendidikan nasional secara formal adalah Pancasila. Implikasinya bagi pengembang kurikulum adalah (a) nilai-nilai Pancasila harus dipelajari secara mendalam dan komprehensif sesuai dengan sifat kajian filsafat baik dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.(b) kelima sila tersebut berisi nilai-nalai moral yang luhur sebagai dasar dan sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan pada setiap tingkatan, memilih dan mengembangkan isi/bahan kurikulum, strategi pembelajaran, media pembelajaran dan sistem evaluasi.
Tujuan menjadi faktor penting dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya memberikan arah ke mana kurikulum harus dituju melainkan juga sebagai acuan dan gambaran dalam memilih dan menentukan isi/materi, proses pembelajaran, dan sistem evaluasi. Secara umum tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang utuh, yaitu sehat jasmani rohani, memiliki pengetahuan, sikap dan nilai-nilai, tangguh, dan mandiri, kreatif, dan bertanggung jawab, berguna bagi dirinya sendiri, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Nana Sy.Sukmadinata ( 2010:52-56 ) kelima sila dalam pancasila dalam prespektif ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai berikut :
1.      Ontologi
a.    Ketuhanan Yang Maha Esa
Melalui sila ini diharapkan setiap manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, menghormati antar pemeluk agama, dan tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain.
b.   Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pendidikan tidak membedakan usia, agama serta tingkat sosial budaya dalam menuntut ilmu. Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam menuntut ilmu dan mendapat perlakuan yang sama,kecuali tingkat ketaqwaan seseorang. Manusia Pancasila harus menjiwai, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga mampu bersikap adil dan beradab dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.    Persatuan Indonesia
Kecintaan kita terhadap bangsa dan negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila akan menghapus perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, dan lain-lain yang dapat menimbulkan perpecahan sektoral. Persatuan yang kokoh dapat menghilangkan pikiran-pikiran yang berbau separatisme atau rasialisme. Sila ketiga ini tidak membatasi golongan untuk belajar, artinya setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
d.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Jika pendidikan ingin maju, maka pendidikan harus dapat menghargai pendapat orang lain, dalam filsafat pendidikan hal ini dikenal dengan aliran progressivisme. UUD 1945 juga mangamanatkan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian untuk mengembangkan sebuah kurikulum diperlukan ide-ide cemerlang dari orang lain.
e.    Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dalam pendidikan, adil mencakup seluruh aspek kehidupan anak. Oleh sebab itu, dalam struktur kurikulum harus ada materi yang mengandung unsur agama, pengetahuan umum, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, teknologi, bahasa, dan unsur-unsur  lain yang relevan serta memang diperlukan bagi anak untuk kehidupannya kelak. Dalam proses pembelajaran, guru tidak boleh membeda-bedakan peserta didik, guru harus bersikap adil dalam memberikan nilai kepada peserta didik.
2.      Epistemologi
a.    Ketuhanan Yang Maha Esa
Pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh melalui akal atau pancaindra dan dari ide atau Tuhan.Pancasila bersumber dari bangsa Indonesia yang prosesnya melalui perjuangan rakyat. Melalui Pancasila, kita dapat mengetahui apakah ilmu itu diperoleh melalui rasio atau datang dari Tuhan.
b.   Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pada dasarnya manusia merupakan subjek yang potensialdan aktif, berkesadaran, tahu akan eksistensidiri dan dunia. Jika guru memiliki moral atau etika, tentu tidak ada lagi guru yang berbuat kekerasan dan kesewenangan terhadap peserta didik atau sesame guru lainnya. Komunikasi antara guru dengan peserta didik akan memperjelas bahan-bahan pelajaran, sehingga dapat menyamakan persepsi yang diperoleh dari berbagai sumber. Pengetahuan yang dimiliki seseorang menunjukkan kualitas dan martabat kepribadiannya.
c.    Persatuan Indonesia
Proses terbentuknya pengetahuan manusia merupakan hasil dari kerjasama atau hasil hubungannya dengan lingkungan. Hubungan yang baik antara potensi dasar dengan lingkungan akan membentuk pengetahuan.
d.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Seorang pemimpin  tentu harus bertindak dan bersikap secara bijak, untuk menjadikan orang yang bijak maka peran pendidikan sangat besar, baik pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Guru juga adalah seorang pemimpin, karena itu ia harus belajar ilmu keguruan agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara bijak, jika ada persoalan harus diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat.
e.    Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Adil dapat diartikan seimbang, seperti seimbang antara “ilmu dunia” dengan “ilmu akhirat”, seimbang antara “IPTEK” dengan “IMTAQ”. Untuk itu diperlukan pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Program pendidikan harus diupayakan juga untuk mengentaskan kemiskinan.

3.      Aksiologi
a.    Ketuhanan Yang Maha Esa
Percaya kepada Allah merupakan nilai yang paling esensial dalam ajaran islam. Setiap kita melakukan praktik ibadah selalu menyebut nama Allah, begitu juga ketiak para kali da’i menyebarluaskan ajaran islam hal pertama dan utama yang disampaikan adalah keimanan. Oleh sebab itu, dalam kurikulum formal di Indonesia diberikan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
b.   Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Setiap peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran diperlakukan sama tanpa membedakan keturunan, ras, status sosial karena dalam Pancasila mereka adalah sama. Sekolah akan memberikan penghargaan kepada siapa saja dari peserta didik yang memperoleh prestasi baik, bukan dilihat dari suku, agama, status sosial-ekonomi, pangkat atau jabatan orang tuanya. Guru juga akan memberikan penghargaan kepada peserta didiknya yang  aktif, kreatif, dan produktif.
c.       Persatuan Indonesia
Peserta didik yang sedang melakukan kegiatan belajar, ia harus menyatukan seluruh pikirannya, fisik dan mentalnya, sikap dan motivasinya, dan lain-lain sehingga bisa mencapai tujuan belajar sesungguhnya. Di sekolah, ia belajar bersama teman-temannya, di rumah, ia belajar dengan keluarganya, dan di masyarakat, ia belajar dengan lingkungannya.
d.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan sikap gotong-royong dan melakukan musyawarah dalam memecahkan suatu persoalan. Semua persoalan selalu dimusyawarahkan secara bijak dan penuh tanggung jawab karena setiap tindakan dan ucapan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
e.       Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila ini mengandung nilai yang luas, antara lain menghormati hak orang lain, suka memberi pertolongan, bersikap hemat, suka bekerja, menghargai karya orang lain, mewujudkan pembangunan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini sudah tertanam sejak manusia ada di bumi Indonesia.

B.     Azas Psikologis
Dalam proses pendidikan yang tejadi adalah proses interaksi antar individu. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi psikologisnya. Kondisi psikologis sebenarnya merupakan karakter psiko-fisik seseorang sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku interaksi dengan lingkungannya. Dalam pengembangan kurikulum, minimal ada dua landasan psikologi yang mempengaruhinya, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
1.    Psikologi Perkembangan
      Menurut Piaget (Sukmadinata, 2010) mengemukakan empat tahap perkembangan kognitif pada anak, yaitu:
a.     Tahap sensori motor/ tahap discriminating and labeling (0,0- 2,0), yaitu Kemampuan anak terbatas pada gerakan-gerakan reflex, bahasa awal, waktu sekarang, dan ruang yang dekat saja. Pada tahap ini anak melakukan kegiatan intelektual yang diterima secara langsung melalui indra, ketika anak mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya pada objek-objek yang nyata.
b.    Tahap praoperasional/ tahap prakonseptual atau masa intuitif (2,0-7,0), yaitu kemampuan anak menerima perangsang masih terbatas, perkembangan bahasa sangat pesat, pemikirannya masih statis, belum dapat berpikir abstrak. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi bukan berdasarkan analisis rasional,anak mengambil kesimpulan hanya berdasarkan sebagian kecil yang diketahuinya dari suatu keseluruhan yang besar.
c.     Tahap operasi konkret/ performing operation (7,0-11,0), yaituanak mulai mengembangkan kemampuan berpikir logika dan sistematis dalam memecahkan masalah, permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan yang konkret. Mereka menyukai soal-soal yang tersedia jawabannya.
d.    Tahap operasi formal/ proporsional thinking (11,0-15,0), yaitu anak mulai menggunakan pola pikir orang dewasa, mampu berpikir tingkat tinggi, mampu berpikir deduktif-induktif, berpikir analitis-sintesis, mampu berpikir abstrak dan reflektif serta memecahkan berbagai masalah. Mereka dapat mengaplikasikan cara berpikir logis, baik masalahnya yang abstrak maupun yang konkret, anak dapat mengemukakan idea tau gagasan, berpikir tentang masa depan yang realistis.

2.    Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana peserta didik melakukan perbuatan belajar.  Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan. Definisi belajar menurut beberapa teori, yaitu:
a.     Teori Disiplin- Mental (Daya)
Menurut Bigge dan Hunt (Sukmadinata, 1997) ada beberapa teori yang termasuk rumpun disiplin mental, yaitu :
1)        Teori disiplin mental theistic, yang berasal dari psikologi daya. Setiap anak memiliki daya-daya yang dapat dilatih dan dikembangkan.
2)        Teori disiplin mental humanistik, yang bersumber dari psikologi humanisme klasik Plato dan Aristoteles. Teori ini lebih menekankan  keseluruhan dan keutuhan melalui pendidikan umum.
3)        Teori naturalisme atau natural unflodment atau self-actualization yang bersumber dari psikologi naturalisme-romantik dengan tokoh utamanya Jean Jacques Rousseau. Anak memiliki kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri.
4)        Apersepsi atau Herbartisme, yang bersumber dari psikologi strukturalisme dengan tokoh utamanya Herbart. Belajar adalah membentuk massa apersepsi yang akan digunakan untuk menguasai pengetahuan selanjutnya.
     Implikasinya adalah isi kurikulum harus ada mata pelajaran-mata pelajaran yang dapat mengembangkan berbagai daya dalam jiwa manusia, kurikulum disusun untuk semua peserta didik tanpa memperhatikan minat dan kebutuhannya. 
b.  Teori Behaviorisme
Teori ini disebut juga S-R Conditioning yang terdiri atas tiga teori, yaitu:
1)    Teori S-R Bond, yang bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasi dengan tokoh utamanya Edward L. Thorndike. Belajar adalah membentuk hubungan stimulus-respon. Menurut teori ini ada tiga hokum belajar yaitu law of readiness, law of exercise or repetition, and law of effect.
2)    Teori conditioning atau stimulus-response with conditioning dengan tokoh utamanya adalah Watson. Hubungan stimulus dengan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Misalnya pada saat peserta didik mau masuk kelas ada tanda bel, juga ketika istirahat, ujian, atau ulang sekolah.
3)    Teori reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Jika teori conditioning, kondisi diberikan pada stimulus, maka dalam teori reinforcement kondisi diberikan pada respons, misalnay member nilai tinggi, pujian atau hadiah.
c.       Teori Gestalt (lapangan)
     Tokoh utamanya adalah Kurt Lewin. Belajar adalah proses mengembangkan insight, belajar merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kretif. Prinsip belajar menurut teori Gestalt, antara lain : (a) bahan pelajaran disajikan dalam bentuk masalah yang sesuai dengan kebutuhan dan minat peserta didik, (b) mengutamakan proses untuk memecahkan masalah, (c) belajar dimulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, (d) belajar memerlukan insight atau pemahaman, (e) belajar memerlukan reorganisasi pengalaman yang kontinu. Implikasinya adalah kurikulum harus disusun secara keseluruhan (teori dan praktik) sehingga memungkinkan peserta didik berinteraksi dengan lingkungan dan menimbulkan insight peserta didik.
Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan berhubungan erat dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Kurikulum diharapkan dapat menjadi alat untuk mengembangkan kemampuan potensial menjadi kemampuan aktual peserta didik serta kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama. Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang bersasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik serta bagaimana peserta didik belajar. Terdapat dua cabang psikologi yang sangat diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan teori belajar.
Pemahaman tentang peserta didik sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Melalui kajian mengenai peserta didik, diharapkan upaya pendidikan yang dilakukan sesuai dengan karakteristik peserta didik, baik penyesuaian dari segi kemampuan yang harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan, proses penyampaian atau pembelajarannya dan penyesuaian dari segi evaluasi pembelajaran.
Dalam proses pendidikan yang tejadi adalah proses interaksi antar individu. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi psikologisnya. Kondisi psikologis sebenarnya merupakan karakter psiko-fisik seseorang sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku interaksi dengan lingkungannya. Dalam pengembangan kurikulum, minimal ada dua landasan psikologi yang mempengaruhinya, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
C.    Azas Sosiologis
Menurut Muzammilah (2011) Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu dengan individu, antar golongan, lembaga sosial yang disebut juga ilmu masyarakat. Dunia sekitar merupakan lingkungan hidup bagi manusia. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama hingga mereka mengatur diri mereka sendiri dan menganggap sebagai suatu kesatuan sosial.
Sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang didirikan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Maka kurikulum sekolah dalam penyusunan dan pelaksanaan banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang berkembang dan selalu berubah di dalam masyarakat. Menurut Durkheim (Sukmadinata, 2010) pendidikan adalah suatu fakta sosial karana menjadi objek studi sosiologis, ada tiga ciri utama fakta sosial, yaitu :
1.    Ia berada diluar individu,tidak seperti psikologi yang berada dalam individu
2.    Memiliki daya paksa terhadap individu untuk melaksanakan dan menaatinya, orang wajib menggunakan bahasa tertentu agar ia dapat berkomunikasi dengan orang lain
3.    Fakta sosial itu tersebar di kalangan warga masyarakat, menjadi milik seorang.
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan materi di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Setiap negara mempunyai landasan filosofis dan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, di Indonesia, landasan filosofis pengembangan sistem pendidikan nasional secara formal adalah Pancasila.
2.      Implikasinya bagi pengembang kurikulum adalah (a) nilai-nilai Pancasila harus dipelajari secara mendalam dan komprehensif sesuai dengan sifat kajian filsafat baik dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.(b) kelima sila tersebut berisi nilai-nalai moral yang luhur sebagai dasar dan sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan pada setiap tingkatan, memilih dan mengembangkan isi/bahan kurikulum, strategi pembelajaran, media pembelajaran dan sistem evaluasi.
3.      Dalam pengembangan kurikulum, minimal ada dua landasan psikologi yang mempengaruhinya, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
B.     Saran




DAFTAR PUSTAKA
Delina, Santi. (14 Maret 2013). Landasan Pengembangan Kurikulum.
[Online].

Muzzamilah. (20 Maret 2011). Azas-azas Pengembangan Kurikulum.
       [Online].

Sudrajat, Akhmad. (22 Januari 2008). Landasan Pengembangan Kurikulum
[Online]